|
Bulan Nopember gini emang paling asik ngomongin tentang pahlawan. Soalnya tiap tanggal 10 Nopember, bangsa Indonesia biasanya suka memperingati momen itu sebagai hari pahlawan. Pahlawan kemerdekaan pembela bangsa dan negara pun dipuja-puja dan disanjung. Bahkan khas negara nasionalis yang suka mengadakan upacara bendera, mengheningkan cipta bagi arwah para pahlawan juga menjadi menu wajib. Terlepas dari lirik lagu mengheningkan cipta yang nyerempet pemujaan terhadap para pahlawan secara berlebihan, pada faktanya jasa para pahlawan itu diabadikan cuma sebatas monumen dan museum, nggak lebih. Kasihan banget ya? Hmm… Pahlawan bangsa dipuja Upacara tiap hari Senin dan hari-hari besar nasional pun digelar, dalam rangka mengingat jasa para pahlawan dan menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan generasi penerus. Bagi mereka yang mangkir upacara karena satu dan lain alasan, bakal dituduh nggak berjiwa nasionalis en nggak menghargai perjuangan para pahlawan. Tapi sesungguhnya, apakah bisa kesetiaan nasionalisme diukur dari rajin nggaknya seseorang ikut upacara bendera? Nggak banget. Coba deh kamu pikir dan rasa dalam-dalam (idih dalam, emangnya gali sumur!) Wajah-wajah para pahlawan dicetak dalam bentuk poster kemudian ditempel di dinding-dinding kelas mulai SD sampai SMA. Dianggapnya dengan cara seperti ini jasa para pahlawan itu sudah terbayar lunas. Padahal faktanya generasi muda kita termasuk kamu-kamu semua belum tentu juga mengenal mereka yang dipajang itu. Kenal saja nggak apalagi meneladani perjuangannya. Maka tak heran di kelas saya dulu ketika zaman SMA, foto-foto para pahlawan itu diganti dengan foto-foto penghuni kelas terutama mereka yang memang kepingin sok ngartis. Dan uniknya, tak ada satu guru pun yang protes. Mungkin dianggapnya lebih kreatif karena mereka berpose ibaratnya pahlawan dengan warna hitam putih seolah-olah gambarnya diambil tempoe doeoloe. Tidak itu saja, pahlawan juga banyak tuh yang dibuatkan patungnya. Bukannya menghormati dan menghargai, para pahlawan ini riskan dipuja-puja berlebihan sehingga menghilangkan esensi makna kepahlawanan itu sendiri. Mereka toh tak pernah meminta untuk dipuja dan dipuji sedemikian rupa. Mereka hanya ingin agar perjuangan yang telah dilakukannya diteruskan dengan sebaik-baiknya, bukan malah dinodai dengan menggadaikan negeri. Pahlawan bangsa dikhianati Perjuangan para pahlawan demi memerdekakan rakyat negeri ini dari penjajahan bangsa asing, penuh dengan pengorbanan darah, harta, airmata bahkan nyawa. Mereka tidak rela harga diri sebagai bangsa dinjak-injak harkat dan martabatnya, sehingga tak ada jalan lain kecuali berjuang. Dan ketika akhirnya perjuangan itu telah membuahkan hasil, ternyata pengkhianat bangsa mengambil alih peranan. Dimulai dari kampanye agar rakyat memilihnya, para pengkhianat ini menggadaikan negeri Indonesia dengan harga murah melalui UU. Di antara UU itu adalah UU migas, UU kelistrikan, dan banyak UU lainnya yang intinya adalah ketundukan terhadap kekuatan asing yang jelas-jelas berniat menjajah Indonesia dalam wajah baru. Nah, lho, kamu kudu ngeh tuh. Jangan cuma ngeh hasil pertandingan sepakbola aja atau hapal lagu-lagu anyar dari seleb idolamu. Catet, yo! Para pengkhianat ini bersembunyi di balik jas rapi dan berdasi yang kerjanya cuma rapat basa-basi. Sedikit ada peluang untuk memperkaya diri, maka korupsi pun dilakoni. Nggak peduli lagi deh sama rakyat yang mati kelaparan, yang penting keluarga sendiri aman dan sejahtera. Bolehlah sekali-kali terjun ke lapangan berbaur dengan rakyat miskin asal dengan syarat disorot kamera demi keuntungan memperoleh suara bila pemilu datang. Halah! Itulah gambaran Indonesia kini dengan para pejabat yang sok mengaku berjiwa nasionalis dan sok menasihati pentingnya menghargai jasa para pahlawan. Di saat yang sama mereka pula yang menjual bangsa ini pada asing, melakukan korupsi besar-besaran di seluruh lapisan jabatan, menggusur rakyat tak berdaya dan diganti dengan mal-mal modal asing, dll. Hehehe.. jangan sport jantung dulu dengan gaya tulisan ini ye! Belum maksimal kok. Ini baru narik tali gas dikit aja. Sungguh kasihan para pahlawan kita, jerih payahnya disalahgunakan oleh para pejabat oportunis itu. Darah dan nyawanya ternyata cuma seharga bangunan fisik gedung-gedung bertingkat atas nama pembangunan. Di manakah rakyat kecil yang dulu selalu dibela oleh para pahlawan itu? Ternyata rakyat yang dicintai oleh para pahlawan itu tinggal di kolong jembatan, berlari-lari dikejar satpol PP, bayi-bayi yang busung lapar, mereka yang tak berdaya dihempas kemiskinan struktural alias tak bisa kaya karena dibuat miskin oleh negara. Ayo, hargai jasa pahlawan! Bung Tomo dengan suaranya yang menggelegar dan menggugah semangat berjuang arek Suroboyo, tidak semata-mata melakukan itu semua demi membela bangsa dan negara saja. Lebih dari itu, mengusir penjajah dari bumi tempatnya berpijak adalah sebuah kewajiban dan kesadarannya dalam berakidah Islam. Jika bukan karena dorongan Islam, mengapa pula Bung Tomo bersusah-payah memekikkan takbir sebelum menyerang musuh? Tul nggak? Pahlawan yang lain demikian pula. Mulai dari nama-nama sekaliber Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Pattimura, Sultan Hasanuddin, Fatahillah dll berjuang melawan penjajah bukan semata-mata membela bangsa dan negara. Sejatinya, Islam adalah motivator utama ketika akidah dan syariah yang saat itu menjadi peraturan kesultanan-kesultanan Islam di nusantara, diinjak-injak oleh para imperialis Belanda dan ‘balad korawanya’ macam Portugis dan Inggris. Hal inilah yang seringkali disembunyikan dari kita, seolah-olah kesan yang ditimbulkan adalah para pahlawan itu sangat nasionalis sekali perjuangannya. Nggak banget deh! Pada faktanya, para pahlawan itu tak mengenal istilah nasionalisme ketika itu. Mereka berjuang karena dorongan akidah Islam karena penjajah mulai menginjak-injak harga diri mereka sebagai manusia. Parahnya lagi, para penjajah juga bertugas sebagai misionaris dan berusaha memurtadkan penduduk nusantara yang notabene muslim untuk menjadi Kristen. Jadi, sudah saatnya jalannya sejarah yang nggak bener itu untuk kembali diluruskan. Agar jasa para pahlawan itu akan terlihat jelas sehingga generasi muda mampu menghargainya dengan bingkai sejarah kejujuran. Langkah kedua untuk menghargai jasa para pahlawan adalah menjalankan roda pemerintahan negeri ini dengan baik dan benar. Baik artinya adalah dikelola oleh mereka yang memang orang baik di bidangnya. Bukan hanya profesional namun juga berahlak mulia sehingga jauh dari niat dan tindakan korupsi ataupun hal-hal yang merugikan rakyat. Benar artinya adalah negeri ini dikelola dengan aturan yang benar. Aturan yang benar ini sudah diberikan panduannya oleh Yang Mahamemiliki Kebenaran berupa syariat Islam dalam segenap aspek kehidupan, bukan cuma kalo mati dan kawinan saja Islam baru dipake. Langkah selanjutnya adalah menjadikan sejarah itu sebagai cermin untuk melangkah ke depan. Sejarah kelam jangan ditutupi namun jadikan pembelajaran agar jangan terulang. Misal sejarah kelam dihapuskannya kalimat ‘dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’ dari sila pertama Pancasila. Lalu sejarah kelam Tanjung Priok 1984 yaitu dibunuhnya para ulama yang menolak azas tunggal oleh rezim orde baru. Nggak perlu deh ditutup-tutupi lagi karena toh yang namanya bangkai pasti akan tercium juga. Betul ndak? Hal yang sama berlaku juga dalam sejarah emas Indonesia yaitu berani meluruskan bengkoknya sejarah kebangkitan nasional. Budi Utomo yang jelas-jelas menolak persatuan Indonesia dan menolak pemakaian bahasa Indonesia karena para pimpinannya lebih memilih bahasa Jawa dan Belanda, tidak lagi pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Syarikat Islam (SI)-lah yang pertama kali menyadarkan pentingnya persatuan nasional melalui Kongres Nasional Central SI di Bandung. Bila pemerintah berani mengambil langkah kejujuran ini, maka so pasti generasi muda kita nggak akan pernah hidup lagi dalam kebohongan sejarah, insya Allah. Jadilah pahlawan, bukan pengkhianat Muslim di Malaysia, di China, Amerika, Arab, Inggris, Palestina, di mana pun mereka berada, mereka adalah saudara kita. Jangan sampai kita menjadi pahlawan bangsa dengan membunuh saudara seiman, naudzhubillah. Jadi tak ada gunanya bertengkar karena hal sepele dengan negara tetangga seperti masalah perbatasan atau kesenian. Musuh sebenarnya kita adalah kapitalisme yang diemban oleh Amerika dan sekutunya untuk dipaksakan pada kita. Bila kita lengah dan menjadi pengikutnya, maka sungguh kita telah menjadi pengkhianat sejati. Pengkhianat bagi negeri, rakyat sendiri, hati nurani, dan tentunya mengkhianati Islam. Semua ada di tangan kita untuk memilih, akan menjadi pahlawan ataukah pengkhianat? Dan semua perbuatan sudah pasti akan ada pertanggungjawaban masing-masing.So, tancapkan dalam hatimu bahwa kita adalah generasi baru yang akan menghargai jasa pahlawan tidak sebatas simbol saja, tapi dalam tataran nyata dengan Islam saja sebagai pedoman hidup bernegara bagi seluruh kaum muslimin. Bagaimana, setuju kan? Harus itu! [ria: riafariana@yahoo.com] |
Pindah Rumah
16 tahun yang lalu